Motor  

Dilema Pengemudi Ojol: Bebas Tapi Tak Berjamin, Jam Kerja Tanpa Batas

Transportasi daring, khususnya ojek online (ojol), telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan perkotaan di Indonesia. Kemudahan akses dan fleksibilitasnya menarik minat banyak orang, baik sebagai pengguna maupun sebagai pengemudi.

Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat tantangan nyata bagi para pengemudi ojol. Mereka seringkali menghadapi ketidakpastian penghasilan dan jam kerja yang tidak terkontrol, sebuah kondisi yang diungkapkan oleh Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat.

“Sulit rasanya menjadikan profesi pengemudi ojol menjadi sandaran hidup. Pasalnya, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand. Bekerja tidak dalam kepastian, status keren sebagai mitra akan tetapi realitanya tanpa penghasilan tetap, tidak ada jadwal hari libur, tidak ada jaminan kesehatan, jam kerja tidak terbatas,” ungkap Djoko.

Tantangan Ekonomi dan Kesejahteraan Pengemudi Ojol

Data yang dipaparkan Djoko menunjukkan gambaran yang kurang menggembirakan. Pendapatan rata-rata pengemudi ojol di bawah Rp 3,5 juta per bulan, meskipun mereka bekerja 8-12 jam sehari selama 30 hari. Ini jauh dari janji awal aplikator pada tahun 2016 yang menjanjikan pendapatan hingga Rp 8 juta per bulan.

Ketidakpastian pendapatan ini diperparah dengan absennya jaminan sosial dan perlindungan ketenagakerjaan. Para pengemudi ojol bekerja tanpa hari libur dan tanpa jaminan kesehatan, sebuah kondisi yang jelas tidak ideal dan berisiko bagi kesejahteraan mereka.

Kondisi ini memicu keresahan dan tuntutan dari para pengemudi ojol untuk perbaikan kesejahteraan. Beberapa solusi yang diajukan meliputi penyesuaian tarif, pemberian bonus atau reward, peningkatan pelayanan aplikasi, penurunan potongan oleh aplikator, dan penurunan harga BBM.

Aspek Keselamatan dan Regulasi

Selain aspek ekonomi, keselamatan juga menjadi perhatian serius. Banyak pengemudi ojol bekerja dalam waktu yang panjang tanpa memperhatikan aspek kelelahan, yang berisiko meningkatkan kecelakaan. Data menunjukkan bahwa 42,85 persen pengemudi ojol bekerja selama 6-12 jam per hari.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah meresmikan ojek online sebagai angkutan umum. Namun, hal ini memerlukan pemenuhan berbagai persyaratan, seperti uji berkala kendaraan (KIR), perlengkapan keselamatan yang lengkap, SIM C Umum, pelat nomor kuning, dan penetapan tarif oleh perusahaan angkutan umum, bukan aplikator.

Contoh penerapan ojek sebagai angkutan umum telah ada di Kota Agats, Kabupaten Asmat, sejak 2011. Di sana, ojek menggunakan sepeda listrik dan telah diatur oleh Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati (Perbup).

Solusi dan Rekomendasi

Djoko juga menyarankan agar pemerintah membuat aplikasi khusus untuk usaha transportasi, menyerahkan pengelolaannya kepada daerah, dan belajar dari contoh Pemerintah Korea Selatan yang membuat aplikasi untuk melindungi sopir taksi.

Penting untuk diingat bahwa masalah ini bukan hanya tanggung jawab aplikator, tetapi juga pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. Dibutuhkan kolaborasi dan komitmen untuk menciptakan ekosistem yang adil dan berkelanjutan bagi para pengemudi ojol, yang telah menjadi tulang punggung mobilitas perkotaan.

Perlu adanya regulasi yang lebih komprehensif yang melindungi hak-hak pengemudi ojol, memastikan pendapatan yang layak, dan menjamin keselamatan kerja mereka. Selain itu, perlu juga upaya untuk meningkatkan literasi keuangan dan manajemen risiko bagi para pengemudi agar mereka dapat mengelola pendapatan dan keuangan mereka dengan lebih baik.

Kesimpulannya, keberhasilan integrasi ojek online ke dalam sistem transportasi publik memerlukan perhatian serius terhadap kesejahteraan para pengemudi. Solusi yang komprehensif, melibatkan semua pihak terkait, sangat diperlukan untuk menciptakan sistem yang adil, aman, dan berkelanjutan bagi semua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *