Mobil  

Insentif Mobil Listrik Jokowi: Penjualan Mobil Baru Jeblok, Ada Apa?

Penjualan mobil baru di Indonesia tengah mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini mendorong Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Kukuh Kumara, untuk menyuarakan keprihatinan. Ia meminta pemerintah untuk tidak hanya berfokus pada mobil listrik, tetapi juga memperhatikan sektor lain dalam industri otomotif.

Kukuh Kumara menekankan pentingnya perhatian terhadap mobil hybrid. Menurutnya, mobil hybrid mulai dilirik oleh pabrikan China, menunjukkan potensi pasar yang perlu diperhatikan. “Sebab pada prinsipnya, teknologi otomotif berkembang cepat. Sehingga kebijakan harus fleksibel dan bermanfaat,” ujarnya di Jakarta, Rabu (21 Mei 2025).

Ia menilai bahwa kehadiran mobil listrik saat ini lebih banyak memakan pasar mobil bensin (ICE) dan Low Cost Green Car (LCGC), bukan menciptakan pasar baru. Oleh karena itu, GAIKINDO mengajukan solusi berupa insentif untuk mobil ICE dan LCGC.

“Pada titik ini insentif ke ICE dan LCGC bisa menambah volume pasar hingga 3 juta unit. Kalau ini tercapai, para brand otomotif akan menambah kapasitas pabrik, baik melalui perluasan atau pembangunan fasilitas baru. Ini akan menyerap tenaga kerja, sehingga positif bagi ekonomi,” jelas Kukuh. Dampak positif ini akan berlanjut, karena setiap penambahan satu tenaga kerja di industri otomotif akan berdampak pada dua orang lainnya. Industri otomotif berperan penting sebagai penggerak manufaktur di Indonesia.

Tantangan Pajak dan Harga Mobil

Kukuh juga menyoroti masalah pajak yang menjadi kendala penjualan mobil baru. Pajak berkontribusi hingga 50% dari harga jual, jauh lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (30%). Pajak tahunan di Indonesia juga lebih mahal. Hal ini perlu dipertimbangkan pemerintah, mengingat mobil di harga tertentu sudah bukan lagi barang mewah, tetapi alat untuk mencari nafkah.

Oleh karena itu, Kukuh menyarankan kajian ulang pengenaan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) terhadap mobil-mobil tertentu. Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan menopang penjualan mobil.

Industri Otomotif: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Riyanto, peneliti LPEM UI, menambahkan bahwa industri mobil saat ini tengah mengalami resesi dengan penjualan yang turun selama dua tahun berturut-turut. Situasi ini diperparah dengan adanya opsi pajak di beberapa daerah. “Jadi, ibaratnya industri mobil sudah jatuh tertimpa tangga,” katanya.

Ia menekankan perlunya insentif untuk industri mobil, khususnya mobil ICE yang penjualannya stagnan. Riyanto memberikan contoh, berdasarkan model regresi, penjualan mobil listrik (BEV) yang mendapatkan insentif 57% lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan insentif.

Solusi: Perluasan Insentif Pajak

Riyanto mengajukan solusi berupa perluasan insentif pajak, seperti PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah) untuk mobil ICE, LCGC, dan hybrid, dengan patokan emisi. Ia berpendapat bahwa emisi BEV, berdasarkan metode well to wheel, tidak lebih rendah dari mobil hybrid.

Menurutnya, efek insentif untuk LCGC, HEV (Hybrid Electric Vehicle), dan ICE lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dengan insentif untuk BEV. BEV masih menghadapi tantangan berupa kecemasan jarak tempuh dan keterbatasan infrastruktur SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum).

Akibatnya, BEV lebih banyak diburu sebagai mobil kedua atau ketiga, bukan mobil pertama. Sebaliknya, mobil ICE, LCGC, dan HEV berpeluang lebih besar menjadi pilihan mobil pertama karena tidak menghadapi tantangan tersebut.

Kesimpulannya, penurunan penjualan mobil di Indonesia membutuhkan solusi komprehensif dari pemerintah. Fokus tidak hanya pada mobil listrik, tetapi juga pada mobil ICE, LCGC, dan hybrid dengan memberikan insentif pajak yang tepat sasaran. Hal ini akan memberikan dampak positif pada perekonomian, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan industri otomotif nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *